Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Rabu, 29 Agustus 2007

HMI Perlu Mantel dan Mentor Gerakan Intelektual

Oleh :TRISNO

HMI meski memikirkan lembaga mantel dan mentor untuk menopang gerakan interlektual yang selama ini menjadi basis gerakan HMI. Lembaga mantel merupakan payung bagi berkembangnya ide dan gagasan HMI yang selama ini menjadi basis gerakannya. Sementara mentor berfungsi untuk ikut memantau perkembangan gagasan, arah pemikiran, memberikan motivasi, serta menghubungkan lembaga mantel ini dengan komunitas luar.

Demikian dikatakan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Republika yang juga mantan anggota HMI Purwokerto, Nasihin Masya, ketika ditemui kader-kader HMI Purwokerto di kantor Harian Republika, Warung Buncit, Jakarta.

Selepas mengikuti kongres HMI ke XXVI di Depok silam, kader-kader HMI Purwokerto mencoba bersilaturahmi ke alumni yang kini menetap di Jakarta itu. Malam hari, ketika waktu menjelang Isya datang, kami anjangsana ke Buncit Raya, tempat salah satu harian nasional terbesar di Indonesia ini.

Bang Nasihin, demikian ia akrab disapa, adalah alumni yang komitmen HMI-nya tidak usah dipertanyakan. Dibalik kesibukannya sebagai salah satu top management di kantornya, ia sangat senang dan antusias setiap kali kader-kader Purwokerto mengajak berdiskusi soal HMI. Untuk kesekian kalinya, di Jakarta, kader-kader HMI Purwokerto bisa langsung mengajak ‘kopi darat’ Bang Nasihin.

Di ruang rapat redaksi, dengan meja memanjang dan bangku berderet yang berhadap-hadapan, obrolan dengan Nasihin mengalir penuh kehangatan. Obrolan berlangsung hampir satu jam.

Dan, seperti juga alumni-alumni lainnya, Nasihin berharap ke depan HMI bisa melahirkan kualitas-kualitas keunggulan, baik dari sisi personal kadernya maupun tampak secara kelembagaan.

Bagi Nasihin, HMI jangan sampai meninggalkan dua kekuatan yang selama ini menjadi nilai dasar keberadaannya. “Keislaman dan keintelektualan adalah penopang utama HMI,” katanya. “HMI dibesarkan dari kekuatan memanggul panggilan Islam yang dibalut dengan visi keintelektualan.”

Ia memberikan analogi sederhana. Dulu HMI besar karena dicari dan dipercaya oleh mahasiswa. “Kalau mahasiswa ingin mengaji, maka mencari HMI. Kalau mahasiswa ingin berdiskusi berbagai tema dan wacana, juga mencari HMI. Keduanya, penjelajahan spiritual dan intelektual bisa dihadirkan oleh HMI,” terang Nasihin. Baginya, output HMI harusnya bisa takar.

Selain visi keIslamannya ada, perkembangan daya nalar (rasio) kadernya juga berjalan untuk merespons realitas. “Itulah yang menjadi daya tarik HMI. Mahasiswa umum mengenal dan tertarik masuk HMI karena atmosfer komunitas sangat mendukung untuk mengenal Islam dan memberi tempat mengeksplorasi gagasan di tengah pluralitas kader-kader.”

Nasihin menyatakan, HMI jangan menjadikan politik sebagai mainstream dalam bidang garap HMI. “Tidak perlu dikatakan HMI sebagai gerakan politik. Justru yang penting dikembangkan adalah membangun gerakan pemikiran. Ini justru lebih penting daripada sebagai gerakan politik,” ungkapnya.

Pengakuan publik terhadap HMI, misalnya bisa ditangkap dari pencapaian ide-ide yang dilakukan oleh kader-kadernya. Semestinya, HMI bisa lebih maju dibanding organisasi mahasiswa lainnya yang hanya mengurusi soal kedalaman hati dan kini justru tampak diminati mahasiswa di kampus-kampus. Sementara di HMI, soal spiritualitas dan intelektualitas itu sebenarnya bisa dipadukan. “Tinggal kreatifitas dan kesungguhan saja dari kader-kader sekarang,”. HMI sekarang, lanjut Bang Nasihin, harus menjadikan pemikiran sebagai bidang garap organisasi yang harus diseriusi. “Gerakan pemikiran/intelektual lebih strategis dibanding menjadikan HMI sebagai gerakan politik. Ingat sejarah kebesaran HMI adalah melalui gerakan pemikiran.”

Ia memberi masukan, jika mau serius dengan gerakan intelektual, maka HMI mesti memikirkan lembaga mantel yang menjadi payung berkembangnya ide dan gagasan. “Lembaga mantel ini penting sebagai penunjuk eksistensi komunitas ide sekaligus untuk berhubungan dengan pihak eksternal, termasuk media guna menyambungkan ide-idenya ke publik,”.

Selain itu, ia juga melihat pentingnya mentor dalam membangun gerakan intelektual. Mentor berfungsi untuk ikut memantau perkembangan gagasan, arah pemikiran, memberikan motivasi, serta menghubungkan lembaga mantel ini dengan komunitas luar. “JIMM misalnya, itu besar karena ada mentornya, Muslim Abdurachman. Ia serius menggawangi dan juga aktif mempromosikan lembaga beserta anggotanya melalui media,” paparnya. Baginya, mentor bukan menunjukan feodalisme keilmuan. Namun, penting bagi siapa pun yang dalam proses pendakian. Mentor harus diambil dari orang yang sudah teruji kualifikasi keilmuannya serta memiliki komitmen tinggi mengambangkan HMI. “Tidak mudah mencari mentor. Tapi, itu juga tantanganya dalam membangun gerakan intelektual,” ucapnya.

Harapan dari alumni seperti Nasihin menyiratkan, betapa HMI sekarang harus lebih progress dengan ide-idenya. Di kantornya, ia bercerita juga sering didatangi tamu-tamu yang ingin bersilaturahmi. “Karena silaturahmi juga , saya jadi memahami perkembangan gagasan berbagai tokoh-tokoh seperti Yudi Latif, Anis Baswedan, dan lainnya.”

Sampai di penghujung pintu keluar kantor Republika untuk kader-kader Purwokerto pamit, Nasihin berucap, “Mantel dan mentor itu tidak selalu di pusat. Di daerah juga harus ada. Dan, lembaga seperti LAPMI juga mesti dikuatkan sebagai media internal penopang gerakan intelektual,” pungkasnya.

1 komentar:

afin_purwokerto mengatakan...

ass.
ane afin PTK cabang purwokerto
ane cuma pengen kasih curhatan dari ane,
ane pikir sekarang lah saatnya kita harus memotong generasi,dan mencoba untuk menseriuskan USHROH agar nantinya kader baru punya semangat yang ga hanya jago ngomong di kandang tapi di mana saja dan kapan saja,dan bisa memberi warna di kampuz agar cuma jadi KUPU-KUPU ( kuliah pulang gitu.waass

AddThis Feed Button