Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Selasa, 14 Agustus 2007

Geliat Kongres ke-26 HMI; dari Makassar untuk Jakarta

Oleh :ASRANUDDIN PATOPPOI
Di abad digital ini HMI masih menunjukkan eksistensi sabagai organisasi yang cukup disegani merupakan sebuah kesyukuran terhadap kita, namun HMI tetap masih menyisakan berbagai persoalan-persolan yang harus dijawab, sehingga himpunan ini tidak sekedar sebuah organisasi paguyuban dan harus mengambil peran-peran strategis untuk bangsa dan ummat.

Kongres Himpunan Mahasiswa Islam ke 26 di Jakarta Selatan merupakan acara terakbar himpunan tercinta untuk mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut tentang HMI dan masalah eksternal HMI. Beberapa agenda-agenda penting untuk dibicarakan antara lain tentang penegasan identitas HMI, quo vadis perjuangan hmi, serta peran-peran politk HMI. Beberapa masalah-masalah menyangkut internal maupun eksternal HMI harus dibicarakan kemudian mengambil jalan keluar “sakti” untuk mengatasi problematika tersebut. Terkhusus masalah eksternal HMI tentang masalah keindonesiaan dan keummatan harus menjadi agenda yang sangat urgen untuk dicarikan jalan keluarnya.

Kondisi bangsa pasca reformasi 1998 yang kurang memberi angin segar bagi tegaknya supremasi politik, supremasi hukum, keadilan ekonomi dan pendidikan, kesehatan, dll. Harapan tercapainya demokrasi sejati di Indonesia menjadi kabur akibat cengkraman negeri ini dari kapitalisme-neoliberal dan perilaku korup dari institusi negara/pemerintahan, serta kebudayaan masyarakat yang semakin mendekati masyarakat banal.

Hari Minggu (11/08) lalu, kami dari Tanah Makassar menemui kader dan alumni yang mempunyai dedikasi dan concern terhadap HMI yang masih tinggi memberi pandangan-pandangan tentang HMI, berikut ini petikan-petikan pandangan yang kami lakukan kepada saudara Alt Makmuralto (AM), Ketua Umum HMI Cabang Makassar periode 2004-2005 dan Wasekjen PB HMI tahun 2006.
Realitas kongres 26 di Jakarta
Bagaimana penilaian saudara tentang kongres HMI ke-26 ini?
AM : Masyarakat HMI-MPO harus belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam konteks bagaimana HMI-MPO berjuang di setiap zamannya, menangkap semangat zamannya (zeitgeist). Kita harus berani mengkritik diri kita sendiri, dan tentu saja membuka diri terhadap kritik-kritik dari luar. Cabang-Cabang jangan hanya mengkritik kinerja PB saja, tetapi juga harus berani mengkritik kinerjanya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Peserta Kongres harus lebih focus kepada agenda-agenda dan evaluasi kinerja. Tidak usah terlalu meributkan soal siapa Ketua Umum PB. Siapkan saja dulu sistemnya baik-baik, baru setelah itu cari figure yang tepat untuk menjalankannya. Jangan justru terbalik.

Agenda apa yang penting untuk rumuskan oleh HMI ?AM : HMI sebelum perpecahannya mewakili dua tema perjuangan, yaitu politik dan intektualisme. Pasca generasi Cak Nur, gerakan intelektual di HMI semakin meredup, dan perlahan-lahan yang menonjol adalah gerakan politiknya. Sejak polarisasi, gerakan intelektual di HMI-Dipo nyaris tidak jalan, sementara di HMI-MPO sejauh ini belum ada format gerakan yang tegas, apakah intelektualisme atau politik. Sebetulnya, hal yang perlu diwarisi oleh HMI-MPO adalah gerakan intelektual itu. Ini lebih aman, berwibawa, dan akan sangat membekas dalam jangka panjang.

Bagaimana dengan isu perubahan nama HMI?
AM : Bagi saya, kita harus mempertegas indentitas dengan mencantumkan nama MPO di belakang HMI. Kadang-kadang ketidakjelasn indentitas HMI-MPO itu membuat bingung pihak luar, dan di sisi lain, orang dalam MPO sendiri sering memanfaatkan ketidakjelasan itu untuk kepentingan pragmatisnya. Dalam beberapa hal gerakan HMI-MPO banyak dirugikan dalam ketidakjelasan ini. Gerakan-gerakan kita kadang-kadang diklaim oleh HMI-Dipo. Kalau HMI-Dipo berbuat kurang ajar, kita malah juga dapat busuknya. Namun, saya cenderung tidak setuju kalau perubahan nama itu lebih berorientasi pada aspek financial dan pengakuan pemerintah. Itu terlalu dangkal. Tidak jadi soal jika pemerintah (hukum) menyebut kita illegal, ketika kita menegaskan identitas kita sebagai “HMI-MPO” dalam konstitusi kita. Selama ini kan kita memang sudah illegal. Tapi itu yang membuat kita radikal, dan kita bangga dengan itu. Yang harus kita perlihatkan adalah karya, baik itu karya pemikiran, gagasan, maupun karya-karya kerakyatan. Sejauh mana HMI-MPO memiliki karya untuk membangun peradaban Indonesia, dan peradaban Islam secara lebih luas. Itu yang penting! Tapi untuk kongres 26 ini saya rasa kita tidak perlu dulu untuk mengganti nama. Ini persoalan besar dan vital. Jangan ada kesan terburu-buru. Peserta kongers sebaiknya merekomendasikan saja kepada PB yang baru nanti untuk membicarakannya di forum yang khusus.

Apa pendapat anda soal rekonsiliasi HMI?
AM: Ah, itu sih sudah basi. Hanya menghabis-habiskan energi saja. Capek deh! Orang-orang tertentu bahkan sering menjadikannya sebagai jualan (baik di Dipo maupun di MPO, baik kader aktif maupun alumni), untuk kepentingan pribadinya. Makanya menurut saya, kita tutup saja perbincangan soal rekonsiliasi itu. Kita tidak perlu lagi rekonsiliasi. HMI Dipo adalah suatu fakta, dan begitu pun HMI-MPO adalah suatu fakta pula. Biarkan keduanya hidup berdampingan saja, bersama dengan organisasi ekstra yang lain. Kita tidak perlu menggugat keberadaan HMI-Dipo, atau menyerahkan kepada hukum untuk menentukan siapa yang sah. Nah, kalau HMI-Dipo justru yang menggugat kita, dan putusan pengadilan menyebut kita illegal, terlarang, yaa…biarkan saja! Selama ini kan kita memang organisasi underground, tidak dilegalkan oleh pemerintah. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menyahuti perintah al-Quran, “berlomba-lomba mengerjakan kebaikan”, dan membuktikan kalau kita bisa berprestasi dan menyumbangkan karya terbaik untuk kemanusiaan. Gitu aja kok repot! (please deh ahh, kata Gus Pur).

Bagaimana criteria calon ketua umum PB HMI kedepan?
AM : Imam kita di PB HMI kedepan haruslah bisa menghidupkan kembali tradisi intelektual di HMI. Itulah harta kekayaan kita satu-satunya yang selama ini terkubur dalam-dalam. Selain itu, ia juga harus mampu menjaga independensi politik HMI, memiliki fokus agenda pada perkaderan, dan peduli pada persoalan rakyat kecil. Pemimpin HMI-MPO tidak boleh menempatkan ataupun mencitrakan dirinya secara elitis. Kayak pejabat pemerintah saja! Kampungan, itu kampungan menurut saya. Kalau masih di organisasi kemahasiswaan saja sudah tampak elitis, bergaya pejabat, bagaimana jadinya kalau dia nanti menjadi pejabat betulan?
Menurut anda siapa yang layak diantara calon-calon yang ada?
AM : Ah, itu sih urusan cabang-cabang, bagaimana mereka menilai calon!! (sambil tersungging).

Quo vadis HMI

Menurut anda seperti apa HMI kedepan?
AM : Kalau kita memfokuskan diri pada agenda politik praktis, maka akan muncul resistensi dari arus bawah. Selain itu, HMI akan berada pada ruang yang sangat sensitif dan mengundang resiko besar. Untuk itu, sekali lagi, gerakan HMI-MPO harus lebih berorientasi pada gerakan intelektualisme. Bukan berarti bahwa kalau begitu HMI tidak melek politik. Itu keliru. Tapi mebincang dan menyikapi peroalan politik dalam konteks yang lebih berperspektif intlektual. Itu sangat sejalan dengan cita-cita besar HMI-MPO mengenai gerakan berperadaban, gerakan tamadduni itu. Selama ini kan gerakan kita lebih bersifat reaksioner. Kalau Yahya Zaini selingkuh, kita lalu sibuk buat pernyataan sikap. Reaksioner kan? HMI seharusnya lebih pandai membaca situasi. Mana yang substansi dan mana yang artifisial belaka. Gerakan HMI haruslah berupa gerakan perekayasaan (engineering).

Peran-peran apa yang harus dijalankan? Internal? Eksternal
AM : Internal, yaa berorientasi pada pengembangan kapasitas kader dan penguatan HMI di kampus-kampus. Gagasan-gagasan HMI haruslah dikabarkan keluar. Jangan hanya sibuk menulis opini atau rebut-ribut di media sendiri. Bagi saya, setiap kader HMI-MPO harus diformat menjadi petarung-petarung yang tak kenal menyerah. Sementara untuk keluar, HMI-MPO harus berorientasi pada agenda-agenda kerakyatan menyangkut nasib kaum kecil. Kemudian mendorong penciptaan iklim baru politik yang lebih berakar pada pendidikan politik yang mencerahkan di kalangan massa rakyat. Ketika rakyat sudah tercerahkan secara politik, maka bangunan civil society tentu akan kuat dengan sendirinya.


Strategi apa yang harus dijalankan agar hmi tetap menjadi sebuah organisasi besar? Internal? Eksternal?
AM : Penguatan perkaderan, tentu saja, dan dan mendorong kader-kadernya untuk memiliki kapasitas dan otoritatif secara individual, sehingga dengan sendirinya akan menguatkan HMI sebagai sebuah jammah. Dulu ada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Jumlah mereka sangat kecil. Tapi gerakan dan pengaruh mereka sungguh luar biasa. Kita sadar kalau HMI-MPO kita ini kecil. Seharusnya kita mengambil peran seperti PSI. Lalu apa modal PSI? Yaa, kader-kader mereka yang hebat-hebat. Makanya, kita di HMI-MPO juga harus melahirkan kader yang hebat-hebat juga, supaya bisa memiliki pengaruh seperti PSI dulu. HMI-MPO harus muncuk sebagai kelompok epistemik yang kuat, dan menggembleng dan mempersiapkan dirinya sebagai the creatif minority, atau yang disebut Syariati sebagai Rausyan Fikr, atau insan Ulul Albab dalam terminology HMI. Ibarat permainan sepak bola, kalau kita tidak bisa menciptakan gol, yaa paling tidak kita melakukan gerakan tanpa bola yang tepat dan mengancam gawang. Itu saja dulu.

Bagaimana dengan gerakan Tamaddun yang telah digagas oleh periode sebelumnya?
AM : Saya kira harus diterjemahkan secara lebih praktis dan berjangka pendek. Gerakan tamadduni adalah gerakan jangka panjang sehingg perlu ada tafsiran-tafsiran riilnya, sesuai dengan konteks kekinian dan kebutuhan periode per periode kepengurusan. Gerakan tamadduni ini harus dilempar keluar (public). Untuk jangka pendeknya, wacana gerakan tamadduni ini akan berhasil, jika orang di luar HMI-MPO memperbincangkannya. Baik mengkritik, mencemooh, maupun mendukungnya. Sekarang ini kan tidak. Kita seolah-olah jago kandang saja.

Harapan terhadap HMI
Apa penilaian anda tentang hmi sekarang?
AM : HMI-MPO sekarang masih belum menegaskan orientasinya secara jelas di lapangan. Gagasan besar kita, baik dalam konstitusi, pedoman-pedoman, dan tema besar yang diangkat, masih sebatas catatan di atas kertas. Belum ada usaha yang lebih riil dan serius. Kita juga semakin kehilangan pengaruh di kampus-kampus, utamanya kampus-kampus besar. Jabatan presiden BEM di kampus-kampus besar, mana ada yang dijabat oleh kader-kader kita. Nyaris semua kader-kader kita hanya menjadi penonton di organisasi intra kampus. Memalukan!
Apa harapan anda tentang hmi di kampus-kampus?
AM : Seharusnya kita kembali masuk dan membuat pengaruh di dalam lembaga-lembaga intra kampus. Tidak hanya di BEM, tetapi terutama juga di lembaga dakwak kampus (LDK), lembaga pers kampus, atau lembaga penelitian mahasiswa. Atau paling tidak, kita bisa masuk lagi dalam aktivitas-aktivitas di masjid-masjid kampus. Kalau itu semua susah dilakukan, kita giatkan saja kelompok-kelompok studi independent di dalam kampus. Dan dari situ berbuatlah sesuatu agar kita diperhitungkan.

Tidak ada komentar:

AddThis Feed Button