Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Selasa, 14 Agustus 2007

Menimbang Rekonsiliasi, Menggugat Perubahan Nama

Oleh :BAHRUL HAQ AL-AMIN

Problem pertama yang akan langsung kita dapati dari organisasi HMI (selanjutnya baca: MPO) kita, adalah problem identitas. Krisis identitas menjadi momok besar yang menghalangi organisasi ini, sejak kelahirannya. Hingga kini, usaha apapun untuk menegaskan identitas organisasi terasa sia-sia. Indikator yang paling menonjol adalah masalah nama organisasi yang hingga kini masih bernama "entah". Hal ini sangat konkrit dan mendasar. Problem ini diawali dengan kenaifan pendahulu MPO yang tak berani mendeklarasikan diri sebagai bukan HMI.

Tindakan sembrono ini kemudian berusaha dicari landasan apologetiknya dari segala sudut pandang; filosofis, politis, historis, organisatoris dan sebagainya. Hingga sampailah doktrin naif ini di-amin-i oleh para kader MPO di segala penjuru. Alih-alih mengakui sebagai bukan HMI, MPO malah dengan lantang berani berkata bahwa dirinya-lah HMI sebenarnya. Argumentasinya sangat banyak. Tapi, tetap saja sampai sekarang pun non-sens. Sekarang ini, menjelang kongres MPO ke-26, untuk kesekian kalinya, MPO diahadapkan pada problem identitas organisasi. Sampai kapan efektivitas perjuangan organisasi akan tergadaikan hanya karena dipusingkan dengan masalah identitas.

Untuk mencari solusi atas krisis identitas ini, maka MPO harus berani menegaskan dan membacakan siapa dirinya sebenarnya. Akan tetapi, sebelum itu, kita harus melihat beberapa fakta yang dapat melandasi analisis kita. Pertama, MPO telah survive - paling tidak hingga saat ini - dalam kancah civil society di Indonesia. Survival MPO disebabkan proses kaderisasi yang tetap berlanjut. Namun, di lapangan, terdapat fakta menyedihkan. Mahasiswa calon anggota MPO ternyata tidak membayangkan bahwa ia akan memasuki dan menjadi anggota organisasi MPO, sebaliknya mereka berpikir bahwa mereka akan masuk HMI. Nah, ini terjadi terus-menerus hingga saat ini. Kader MPO yang sudah masuk organisasi ini tentu saja dengan terpaksa menerima organisasi ini dengan pertimbangan pertemanan, asmara, kuliah, bisnis dan sebagainya. Namun tetap kita tidak bisa menapikkan bahwa mereka sebenarnya sejak awal berharap masuk HMI, bukannya MPO. Sederhananya, kita - kalau tidak mau dikatakan langsung - secara tidak langsung telah mengelabui dan menjerumuskan mereka.

Kedua, MPO telah berhasil membangun segmen masyarakat tersendiri. Sebagai hasil dari perkaderan MPO, maka alumni MPO di berbagai daerah akan menciptakan kelompok-kelompok masyarakat sebagaimana cita MPO. Tentu saja, hal ini memberikan efek positif bagi keragaman masyarakat yang menopang demokrasi. Sayangnya, sebagian besar alumni tidak menyadari potensi peran mereka yang seperti ini.

Ketiga, MPO telah memiliki pengaruh di pentas politik nasional. Beberapa kasus secara jelas menampilkan MPO sebagai bagian civil society yang mampu mempengaruhi beberapa kebijakan publik dan mengkritisinya. Namun, strategi seperti ini tetap saja gagal menegaskan identitas organisasi, sebab masih tumpang tindih dengan HMI.

Keempat, MPO bukanlah HMI. Dilihat dari sisi manapun, MPO bukanlah HMI. Secara legal formal, jelas MPO – yang mengaku adalah HMI yang sebenarnya – tidak bisa memakai nama HMI, apalagi mengklaim MPO-lah sebenar-benarnya HMI. Klaim lama bahwa MPO-lah sebenar-benarnya HMI juga tidak mendapatkan dukungan kuat dari alumni generasi awal MPO; seperti Egi Sudjana dan M.S. Ka'ban. Mereka malah rajin menggulirkan isu rekonsiliasi.

Dari sisi historis-filosofis, MPO juga telah mengalami pergeseran pemikiran dari Islam Indonesia, menjadi Islam trans-nasional. Hal ini terlihat dari isi Khittah Perjuangan yang lebih luas cakupannya daripada Nilai Dasar Perjuangan.

Tentang penolakan asas tunggal, MPO jelas menjadi minoritas mengingat sebagian besar Ormas lainnya justru sepakat untuk menerima. Sikap mainstream ini menjadi legitimasi kuat untuk HMI, dan sebaliknya menggugurkan argumentasi MPO bahwa dirinyalah penerus sejati HMI.

Kelima, MPO adalah organisasi ilegal tanpa nama. Legalitas menjadi sangat penting untuk organisasi manapun yang masih akrab dengan patrimonialisme dan patronase. MPO adalah organisasi yang sangat patrimonialis sekaligus memelihara budaya patronase. Namun, dalam usaha legalisasi dirinya, MPO selalu tersandung dengan fanatismenya bahwa merekalah HMI sebenarnya.

Dengan demikian, jelas MPO tidak bisa melegalkan dirinya dengan tetap bersikukuh ingin menggunakan nama HMI. Lebih ironis lagi, MPO enggan juga untuk melegalkan eksistensi dirinya dengan menggunakan nama lain; HMI MPO misalnya. Alhasil, secara legal, organisasi ini tidak bernama dan tanpa nama jelas. Keberadaannya dirasakan namun tanpa identitas legal.

Keenam, internal MPO sangatlah lemah. Hingga kini, MPO tidak memiliki strategi ekspansi yang jelas. Harusnya ekspansi MPO dilakukan secara teratur dan bertahap. Tahapan ekspansi seharusnya dapat dimulai dari pusat menyebar ke daerah-daerah. sekarang ini, kenyataan menunjukkan fakta-fakta ironis; misalkan Jakarta tidak memiliki cabang di setiap Kotamadya, Jawa Barat bahkan 80% tidak mampu diduduki oleh MPO. Praktis hanya Bekasi, Depok dan Bogor saja, itupun karena mereka masuk wilayah Jabodetabek. Sisanya bersih. Bandung dan Cirebon hanya kabar angin saja di sana ada MPO.

Kelemahan lainnya adalah MPO tidak memiliki strategi pengadaan harta kekayaan organisasi. Kelemahan ini merupakan salah satu akibat dari ketidak-ilegalan MPO. Hampir dalam setiap acara yang diadakan oleh MPO, sisi finansial selalu menjadi kelemahan utama. Tak heran bila kelemahan berikutnya dialami secara turun-temurun. MPO tidak berhasil melakukan rekruitmen yang massif dan efektif. Sistem perkaderan MPO pun mengalami paradoks di mana-mana. Misalnya, seorang kader tidak bisa dimanfaatkan sumber daya intelektualnya sebagai pengisi materi LK bila ia tidak pernah mengikuti Senior Course (SC), yang mana output SC itu sendiri masih dipertanyakan. Di beberapa daerah sistem SC hanya bertujuan untuk mengadakan tenaga pengisi materi LK tanpa memperhatikan kualitasnya.

Dari fakta-fakta yang terurai di atas, kita bisa melihat bahwa MPO masih memiliki segudang problem kompleks, mseki memang ia tetap memiliki potensi tersendiri. Potensi paling nyata ialah bahwa MPO masih survive hingga kini, betapa pun lemah, ilegal, sempit, inefektif, unidentified, dan lain sebagainya. Di sisi lain, HMI sekarang ini telah kembali menerapkan Islam sebagai asas organisasi. Tidak berbeda dari MPO. Ini menjadi potensi tersendiri untuk
menetapkan masa depan eksistensi MPO.

Dari fakta-fakta di atas juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa sejak lama spirit yang dimiliki oleh kader MPO ialah keinginan untuk menegaskan bahwa MPO ialah HMI. Sulit melihat kemungkinan preferensi lain seperti menegaskan bahwa MPO bukanlah HMI. Bahkan preferensi seperti ini nyaris tidak pernah diterima.

Dengan panasnya isu saat ini di mana MPO menghadapi detik-detik Kongres ke-26-nya, maka preferensi antara rekonsiliasi, berganti nama atau tetap seperti ini, menjadi isu yang kembali mencuat. Kita dapat menganalisa pilihan mana yang paling bisa menyelamatkan eksistensi MPO, terutama dengan berdasarkan pada fakta-fakta tadi.

Pilihan pertama, tetap bertahan dengan bentuk seperti ini. Pilihan ini sama saja dengan menahan nafas lebih lama lagi. MPO tidak seharusnya mengalami berbagai penderitaan lebih lama lagi, seperti yang selama ini dialami. Dengan sisi internal yang sangat lemah, maka MPO akan sulit bertahan di masa mendatang. Ongkos untuk survivei akan sangat mahal dibandingkan sebelumnya. Pilihan ini adalah pilihan sulit.

Pilihan kedua, berganti nama. Misalnya menjadi HMI MPO, seperti yang sekarang ini banyak didengungkan. Pilihan ini sama dengan bunuh diri atau memotong-motong tubuh sendiri. Efek paling pertama yang akan terjadi bila pilihan ini diambil adalah disintegrasi organisasi. Selain internal organisasi yang terpecah – dalam hal ini cabang-cabang – para alumni juga akan terbagi. Sederhananya, pilihan untuk berubah nama, sama artinya dengan mengulang kesalahan masa lalu. Hanya saja, kali ini efeknya jauh lebih berat daripada sebelumnya. MPO ini organisasinya sudah kecil, bila terjadi perpecahan, akan sekecil apa lagi jadinya?

Pilihan ketiga, rekonsiliasi dengan HMI. Pilihan ini adalah pilihan hati nurani yang sejak dulu ditimbun oleh egoisme berlebihan dari MPO. Fanatisme sempit pada penilaian pihak sendirilah yang menyebabkan MPO tidak pernah berani untuk mengikuti hati nuraninya sendiri. Padahal, bila argumentasi untuk mempertahankan MPO adalah "perbedaan itu indah", maka dalam baju HMI pun – dengan mekanisme organisasi yang ada – perbedaan-perbedaan akan tetap terjaga. Pilihan untuk rekonsiliasi adalah pilihan hati nurani kader.

Mitos bahwa MPO adalah HMI sebenarnya tidak bisa dipertahankan lagi. Saat ini, HMI adalah HMI, sedangkan MPO adalah organisasi lain. Bila MPO memang masih berniat meneriakan bahwa merekalah HMI sebenarnya, maka pilihan rekonsiliasi adalah pilihan rasional yang tidak menipu diri sendiri.

Kesimpulan saya, problem krisis identitas MPO dapat terselesaikan dengan pilihan rekonsiliasi dengan HMI. Namun, dalam mengambil pilihan ini, satu hal yang haru diperhatikan adalah pilihan tersebut harus berdasarkan aspirasi massif dan merata dari seluruh kader MPO.

(Bahrul Haq Al-Amin, Ketua Panita OC Kongres-26 HMI)

Tidak ada komentar:

AddThis Feed Button