Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Selasa, 14 Agustus 2007

HMI Berubah Nama?

Oleh :TRISNO

Menjelang Kongres ke XXVI, selain isyu suksesi kepemimpinan di tubuh HMI, wacana perubahan nama juga mencuat. Beberapa kader HMI secara terang-terangan meminta agar Kongres ke XXVI mendatang dijadikan momentum untuk melakukan perubahan nama HMI dengan menambahkan kata MPO di konstitusi.


Ketua Komisi Hukum dan HAM PB HMI Antomy Kautsary di pertemuan Rapat Pimpinan Cabang (Rapimcab) Badko Inbagteng di Purwokerto (28-29/4) menyatakan, perubahan nama harus dilakukan dalam konstitusi untuk menunjukan HMI MPO sebagai organisasi yang legal. “Selama ini pemerintah hanya mengakui HMI DIPO sebagai organisasi resmi yang mengatasnamakan HMI. Sementara kita, dianggap tidak legal,” tuturnya.


Bagi Tomy, perubahan nama menjadi keharusan di tengah situasi sosial politik yang lebih mencair dibanding ketika masa-masa Orde Baru. “Dari dulu kita bangga dengan menyebut MPO. Tidak hanya sebagai pembeda dengan DIPO, tapi juga mengikat solidaritas internal untuk melakukan perjuangan melawan Orde Baru. Sekarang, kenapa kita tidak secara tegas menuliskannya di konstitusi?,” tandasnya.


Menurut Tomy, selama ini, ketika HMI MPO tidak diakui secara resmi dalam lembaran negara juga berdampak dalam persoalan keuangan organisasi. Karena tidak diakui pemerintah secara legal, maka HMI MPO tidak bisa mendapatkan dana-dana dari pemerintah seperti organisasi kepemudaan lainnya. “Coba kalau diganti namanya, kita akan mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah yang bisa membantu perjuangan kita,” yakinnya.


Ia mencontohkan, sekarang ini banyak cabang-cabang yang keropos dan membutuhkan ‘injeksi’ dari teman-teman PB secara langsung, baik di wilayah barat, tengah maupun timur. Dan, itu semua memerlukan dana yang tidak sedikit untuk bisa menjalankan fungsi itu. “Sekarang harus jujur kita akui, cabang yang kuat di HMI MPO hanyalah Jogja. Selebihnya keropos dan sakit. Dan, itu butuh penanganan serius yang membutuhkan dana tidak sedikit,” papar Tomy.


Tomy yang juga dikabarkan masuk bursa kandidat Ketua PB ini memberikan analogi dengan apa yang terjadi di partai politik. “Ketika PDI Megawati tidak diakui pemerintah secara resmi, mereka merubah nama menjadi PDI-P dan logonya dengan banteng moncong putih. Hasilnya mereka diakui pemerintah, memperoleh dana bahkan menjadi pemenang pemilu. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama,” terangnya.


Bagi mantan ketua Badko Indonesia Barat ini, Kongres ke XXVI harus menjadi momentum keberanian HMI MPO untuk merubah namanya secara resmi di konstitusi. “Teman-teman PB merasakan betul masalah dana menjadi penting bagi organisasi, apalagi jumlah cabang juga semakin bertambah dan bidang garap perjuangan semakin terbuka. Untuk itu, perubahan nama harus dipikirkan,” tandas Tomy.


Sementara itu
, Ketua Badko Inbagteng M Azwar Syafei menyatakan, HMI harus hati-hati dalam menyikapi wacana perubahan nama. “Pertanyaan saya, apakah faktor dana menjadi variabel utama persoalan di HMI? Saya pikir itu terlalu menyederhanakan persoalan,” tegasnya.


Azwar mencontohkan, dengan apa yang terjadi di organisasi lain ketika mereka diakui dan mendapatkan dana dari pemerintah, namun kenyataanya tidak seperti yang dibayangkan. “HMI DIPO misalnya, dari dulu mereka mendapat dana besar. Hasilnya? Kita tahu sendiri seperti apa?,” ujar Azwar sembari bertanya.


A
zwar mengungkapkan, dana memang menjadi persoalan. Namun, jangan sampai itu diletakan sebagai sumber persoalan organisasi seolah-olah HMI MPO tidak bisa melakukan peran apa pun. “Saya menangkap ada kecenderungan beberapa kader yang terlalu menyederhanakan persoalan sehingga dana dianggap sebagai persoalan utama. Padahal tidak sesederhana itu,” tuturnya.


Ha
l yang sama dikatakan Ketua HMI Cabang Purwokerto, Arfianto purbolaksono. Ia menegaskan, agar wacana perubahan nama tidak disempitkan hanya karena persoalan dana. “Betul, kapan dan dimanapun dana diperlukan organisasi. Namun, jangan sampai itu diletakan tidak proporsional, sehingga persoalan financial seakan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan hidup matinya organisasi,” ujar Anto.


Baginya
, di Purwokerto dan beberapa cabang lain tidak ada masalah ketika mereka mengajukan proposal dana ke pemerintah daerah. “Kita tetap mencantumkan HMI tanpa embel-embel MPO di kop surat, dan ternyata tetap mendapatkan dana seperti teman-teman gerakan yang lain. Dan, saya tidak mengerti kalau di PB mengalami persoalan dan kemudian menimbulkan usulan beberapa kader untuk melakukan perubahan nama di konstitusi,” paparnya.

Tidak ada komentar:

AddThis Feed Button