Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Rabu, 29 Agustus 2007

Menjelang Kongres HMI : Rekonsiliasi Membutuhkan Kearifan

Oleh :ILHAM M. WIJAYA

Semakin menghilangnya kearifan telah menyebabkan
cepatnya akumulasi pengetahuan menjadi suatu ancaman yang serius E.F. Schumacher

Sebentar lagi kalau tidak ada aral melintang akan digelar Kongres HMI pada tanggal 12- 18 Agustus 2007 di Jakarta, Kembali melihat fenomena organisasi mahasiswa tertua yang paling berpengaruh dalam mempengaruhi dinamika kebangsaan paling tidak pada periode 1970-1998-an. Karena pada tahun-tahun tersebut HMI memang masih mendominasi dikampus-kampus dan di pusat kekuasaan.

Saat ini di era reformasi kompetitor HMI semakin banyak, dan secara perlahan peran kebangsaan HMI semakin tergeser. Tulisan ini tidak akan membahas masalah peran HMI dalam konteks kebangsaan, namun fokus mencari solusi atas permasalahan yang tak kunjung usai yaitu masalah dualisme HMI yang menjadi perdebatan hangat di HMINEWS sekarang ini. Semua pihak sudah mafhum sejak diberlakukannya penyeragaman asas tunggal bagi seluruh ormas dan orsospol di Indonesia telah berimplikasi pada perpecahan HMI. Organisasi besar HMI sejak tahun 1986 sampai sekarang mengalami dualisme kepengurusan.

Seolah tidak ada cara lain dalam menyikapi pertentangan ini (saya menyebut pertentangan karena memang faktanya demikian), tanpa ditutup-tutupi HMI sudah kehilangan kearifan dalam bertindak. Kondisi seringkali mengelabui pikiran baik anggota ataupun alumni HMI, padahal di HMI diajarkan tentang bagaimana sikap sesorang itu bukan karena terkondisikan oleh realitas tetapi realitas dikondisikan oleh pikiran.

Kembali membicarakan dualisme HMI, saya ingin memberikan jawaban agar duduk perkara HMI bisa dipahami dengan benar. Masalah ini memang rumit, karena sudah berlangsung lama, logika asas Islam sudah sama atau tidak adalagi perbedaan subtansial di dua HMI ini tidak bisa diterima begitu saja oleh kedua HMI. Hal ini berujung pada problem siapa yang eksistensi dan siapa yang koeksistensi, yang pada akhirnya keduanya berjalan pada jalur masing-masing.

Kalaupun saudara Irvan AF atau Bahrul Al Haq dalam tulisannya di HMINEWS menganggap masalah ini sederhana dengan mengganti nama atau rekonsiliasi masalah sudah selesai, namun bagi saya keduanya tidak bisa menjelaskan secara rinci bagaimana proses itu bisa tercapai, mungkin bagi mereka hanya sebatas wacana selesai, kalau saja mereka mengalami kondisi di kepengurusan PB HMI maka akan bisa merasakan bagaimana susahnya membangun itu semua.

Menurut saya kalau mau masalah ini selesai seutuhnya, penyelesaiannya harus komprehensif dan rigid. Bukan berarti membuat susah mekanismenya, tetapi memang kenyataan dilapangan agak sulit membangun komitmen ini, misalnya pertemuan saja kadang masih belum cair. Saya berpikir kalau keduanya mau, saya menawarkan cara mekanisme tersebut yaitu dengan membuat peta jalan damai. Lagi-lagi ini bukan membuat rumit tetapi sekedar mencari solusi dari kebekuan, proses ini bagi saya bukan suatu hal yang utopis, bayangan saya kedepan HMI memulai bersandingan mesra dan kedepan meretas penyatuan kembali.

Peta Jalan Damai

Perdebatan dualisme HMI menjelang Kongres HMI ke-26 ini bermula dari keingingan merubah nama HMI menjadi HMI MPO atau mengganti secara keseluruhan, kemudian wacana rekonsiliasi menyeruak muncul kembali ramai dibicarakan para personil HMI distruktur kepengurusan. Wacana ini sering muncul biasanya menjelang Kongres atau momen nasional lainnya. Setelah itu biasanya akan mengendap lagi.

Penyikapan yang tiba-tiba ini mengakibatkan adanya simplifikasi terhadap masalah. Seakan masalah rekonsiliasi ini mudah untuk dilakukan, padahal dalam prakteknya sangat sulit dilaksanakan, perlu ada perencanaan yang matang untuk menuju pada penyatuan (reunifikasi) dua HMI ini. Memang kongres adalah forum tertinggi di organisasi namun tanpa persiapan yang matang semua gagasan itu jadinya kontarproduktif.

Perencanaan untuk menuju kepada reunifikasi idealnya berupa Manifes Jalan Damai (MJD) yang memuat tahapan perencanaan menuju ke arah penyatuan. Atau istilah apa saja yang terpenting ada komitmen tertulis dari kedua belah pihak.

Seberapa lama jangka yang akan ditentukan oleh MJD ini? kalau bicara waktu, inilah yang paling sulit karena ada yang menginginkan percepatan dan ada juga yang ingin berjalan secara alamiah. Menurut saya waktu memang harus ditentukan, misalnya Jangka pendek selama 4 tahun (2 kali Kongres), Jangka Menengah (3 Kali Kongres) dan terakhir jangka panjang 5 tahun (5 Kali Kongres). Berarti asumsi waktu itu kedepan selama kurang lebih 10 tahun, HMI akan bersatu pada 2015.

Penentuan waktu ini terkait dengan muatan yang akan dimasukan kedalam formulasi MJD. Mekanisme ini kalau disepakati akan berjalan semacam bentuk manajemen partisipasi aktif kedua HMI. Pada tahun pertama misalnya, formulasi MJD itu sudah selesai dibuat. Tahun kedua, Penyempurnaan MJD di tingkatan nasional dan daerah. Pada momen Kongres disampaikan perkembangan-perkembangan yang telah dihasilkan, tanpa harus dibahas lagi karena ini sudah ada tim.

Tahun ketiga dan keempat, formulasi MJD itu diolah kembali dalam acara-acara kegiatan bersama, diskusi, lokakarya hingga simposium formulasi MJD di daerah. Pada tahun kelima dan keenam, tahap untuk diseminasi formulasi secara menyeluruh, Tahun ketujuh dan kedelapan, Memasuki tahapan pengkondisian dan penyiapan infra struktur baru yang mengakomodir kedua HMI sesuai dengan formulasi yang sudah disiapkan. Tahun kesembilan dan kesepuluh, tahapan evaluasi dan monitoring setiap perkembangan yang dihasilkan. Setelah dimungkinkan pada Kongres ke-31 dilakukan integrasi semua konsepsi formulasi beserta perangkatnya sampai diputuskan diforum Kongres.

Dalam proesesnya pasti akan ada intrik kepentingan, karena itu hal yang lumrah bagi sebauh organisasi yang sedang menuju pada penyatuan kembali, yang terpenting ada kearifan gerakan dari kedua belah pihak, untuk menjalani ini secara berjiwa besar, ikhlas dan lillahita’ala.

Meminjam istilah kearifan menurut E.F. Schumacher adalah sesorang yang mempunyai kepintaran, kecerdasan dan kepandaian untuk pemahaman, tanpa kearifan hanyalah sebuah kepandaian semu. dalam konteks ini Schumacher menekankan pentingnya menggunakan nalar jernih dalam melakukan sesuatu, menggunakan pengetahuan yang arif dalam setiap tindakan. Sehingga kearifan ini bisa dijadikan ijtihad dengan landasan pengetahuan yang tinggi.

Fenomena saat ini pengetahuan tidak memberi efek tertentu kepada seseorang, mengutip Francis Bacon pengetahuan yang tinggi itu sendiri adalah kekuasaan. Sehingga sikap yang muncul itu arogansi dan egoisme. Dalam Islam tentunya tidak mengajarkan hal demikian, seperti dalam firman Allah SWT “Sungguh kami telah ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan hatinya kepadanya. Kami dekat kepadanya dari urat lehernya” (Q.S. Surat Qaf : 16). Pengetahuan mempunyai ruang sebagai bahan kajian epistemologis untuk mencapai hakikat kemanusiaan.

Kembali pada konteks HMI, tradisi intelektual di lingkungan organisasi ini sudah tidak diragukan lagi dari mulai struktur komisariat sampai ke tingkat pengurus besar (PB), kajian intelektual menjadi konsumsi biasa. Maka secara otomatis pengetahuan yang dimiliki oleh kader HMI adalah pengetahuan yang tinggi dan secara tidak langsung harus memberikan efek kearifan bagi setiap tindakan yang dilakukan.

Sebegitu penting kearifan ini untuk memuluskan MJD bisa selesai sampai pada tahapan akhir. Tanpa kearifan MJD bisa jadi akan berhenti ditengah jalan. Bukan tidak mungkin gagasan ini pun mendapat kritik tajam dari berbagai pihak karena dianggap mengkhayal dan mengada-ada. Mungkin hanya orang yang arif saja yang bisa menerima gagasan ini dengan benar. Disinilah kearifan seseorang diuji, usia walaupun menentukan sikap seseorang, tetapi pengetahuan tak terbatas oleh apapun, sikap arif tidak hanya dimiliki oleh orang tua, orang muda pun bisa menjadi orang yang sangat arif.

Penyatuan HMI bisa terjadi dipertengahan proses MJD, hal ini sangat mungkin apabila keduanya memiliki titik temu yang cepat. Tapi bisa jadi juga akan membutuhkan waktu lama. Kondisi psikologis kedua HMI sekarang ini memang sudah dikondisikan untuk saling berhadapan.

Setiap anggota dikedua HMI memiliki kesadaran yang sama untuk tidak bersimpati pada rival HMI-nya. Pada tingkatan Pengurus Cabang sampai ke Pengurus Besar sikap ini sudah mulai kendor, pada tingkatan puncak ini biasanya sudah muncul sikap saling menerima dan menghargai seakan memang tidak ada masalah yang pelik. Memang tetap ada saja orang yang kukuh dari mulai di tingkatan bawah sampai pusat, sikpanya tidak berubah menganggap dirinya paling benar.

Problem ini tidak bisa dinafikan begitu saja, hal ini harus diakomodir oleh MJD karena pada dasarnya proses MJD ini bukan proses antara pemimpin gerakan yang elitis melainkan penyatuan seluruh anggota HMI di seluruh Indonesia yang jumlahnya ribuan. Maka jalan ketiga ini menggunakan struktur pimpinan HMI untuk mengkondisikan psikologi kader HMI di daerah. Jangan sampai sikap over lap terjadi, seperti contoh, pusat langsung melakukan koordinasi dengan personal yang non struktur di daerah, apabila hal ini terjadi akibatnya akan sangat fatal.

Maka kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa meretas jalan rekonsiliasi ini merupakan jalan panjang berliku yang tidak bisa diselesaikan secara parsial. Apalagi kalau diselesaikan secara hukum dampaknya akan merugikan kedua belah pihak. Gagasan Asranuddin di HMINEWS agar salah satu pihak mengadukan ke PTUN , untuk mencari siapa pewaris HMI yang sah.

Kalau partai politik mungkin bisa melakukan hal itu, tapi karena HMI ini organisasi kemahasiswaan dan oreintasinya adalah perkaderan dan perjuangan, sikap demikian jelas sangat jauh dari kearifan, sikap tersebut cenderung mengedepankan kekuasaan. Sesuai apa yang dianut oleh Francis Bacon filsuf barat yang tidak menganggap adanya eksistensi Agung. Tentunya kader HMI lebih berpihak pada filsuf Islam daripada pemikir materialis.

Tetapi itu adalah hak setiap orang untuk melakukan tuntutan, perihal pemikiran materialis memang urusan lain dan bisa diperdebatkan lagi. Kalau memang dianggap bisa selesai dengan pengadilan untuk melihat siapa pewaris sah dari HMI, maka hal itu bisa saja dilakukan. Tergantung pertimbangan yang sudah dipikirkan dengan matang. Boleh saja semua pihak berpendapat namun benang merahnya ada pada sejauh mana kearifan gerakan mampu dibentangkan dan dilaksanakan bersama. Bagi saya sendiri kuncinya ada di pemimpin gerakan. Apakah hal ini mengada-ada jawabannya ada pada kita semua, mau atau tidak untuk berbuat baik? Wallahu’alam

(Ilham M. Wijaya, Sekretaris Jendral Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 2005-1007)

Tidak ada komentar:

AddThis Feed Button