Oleh : SYAHRUL EFENDI DASOPANG
Anggaran dua puluh persen dari APBN dan APBD belum juga berhasil diimplementasikan untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4, tiba-tiba kita telah dikejutkan oleh munculnya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Siapa pun tidak dapat menyangkal bahwa konstruksi berpikir di balik RUU tersebut adalah bahwa pemerintah hendak mengurangi beban tangungjawabnya terhadap penyelenggaraan pendididikan di
Agar lebih afdol, baiklah saya kutipkan di sini pasal 14 ayat 1 dan 2 dari RUU BHP tersebut untuk membuktikan benar tidaknya apa yang saya gusarkan di atas. (1) Dewan Pendidik merupakan organ BHP yang bertindak untuk dan atas nama Majelis Wali Amanat merumuskan norma dan ketentuan akademik tentang kurikulum dan proses pembelajaran, serta mengawasi penerapan norma dan ketentuan tersebut oleh satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (2) Senat Akademik merupakan organ BHP yang bertindak untuk dan atas nama Majleis Wali Amanat merumuskan norma dan ketentuan akademik tentang kurikulum, proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengawasi penerapan norma dan ketentuan tersebut oleh satuan pendidikan tinggi.
Sepintas, logika yang dibangun dalam RUU BHP tersebut sangatlah mulia. RUU BHP selain bertujuan untuk menciptakan institusi pendidikan yang otonom, akuntable, dan transparan, juga bertujuan mengatur prosedur pendirian institusi pendidikan, baik yang didirikan oleh masyarakat maupun pemerintah. Dengan adanya UU BHP, diharapkan pengelolaan dan pembiayaan operasional institusi pendidikan akan semakin transparan dan tidak lagi terlalu bergantung pada pemerintah. Dan dengan cara seperti itu juga diharapkan dapat memicu kreatifitas dan semangat kompetitif pada masing-masing intitusi pendidikan yang ada.
Akan tetapi, tidakkah pemerintah menyadari bahwa di sebelah tujuan-tujuan mulia tersebut, terdapat bahaya laten yang dapat mengancam dunia pendidikan kita. Bahaya tersebut merupakan konsekwensi-konsekwensi yang ditimbulkan jika RUU BHP tersebut benar-benar diimplementasikan. Salah satu konsekwensi dari RUU BHP tersebut adalah terbukanya pintu yang legal bagi siapa pun, termasuk pihak asing, untuk merambah lahan pendidikan
Menyangkut Pasal 7 tersebut, apakah pemerintah tidak membayangkan konsekwensinya seperti yang akan saya uraikan berikut ini? Misalnya, andaikan pihak asing hendak membuka institusi pendidikan formal di Indonesia, yang meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar, Menengah, hingga Perguruan Tinggi, langkah pertama yang akan ia lakukan tentulah dengan menggandeng mitra lokal (BHP Indonesia yang telah ada). Jangan berhayal akan muncul penolakan dari BHP Indonesia, justru sebaliknya BHP Indonesia akan merasa tersanjung jika ada tawaran kerjasama dari pihak asing, apalagi jika tawaran tersebut berasal dari institusi pendidikan yang memiliki reputasi Internasional.
Yang paling celaka, jika mitra lokal pihak asing yang hendak mendirikan institusi pendidikan formal tersebut hanyalah sebuah BHP boneka. Jika hal itu yang terjadi, pemerintah telah menyediakan jalan yang legal bagi pihak asing untuk mengambilalih otoritas pendidikan di Indonesia. Bukankah tidak sukar memprediksikan akan tiba saatnya BHP Lokal akan mati pelan-pelan karena kalah bersaing dengan BHP yang disokong oleh pihak asing.
Di masa depan, jika RUU BHP diundangkan, kita akan melihat institusi-institusi pendidikan formal kita, mulai dari PAUD hingga PT, semuanya akan mengabdi dan berorientasi kepada pihak asing. Lalu, jangan heran akan muncul generasi yang merasa asing dengan budaya dan negerinya sendiri. Dan jangan pula kaget akan lahir pribadi dengan casing Melayu tetapi isi otak seluruhnya Non Melayu.
Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul apabila RUU BHP benar-benar diundangkan, sudah sepatutnya kita menolak rancangan undang-undang tersebut jika isinya tetap tidak direvisi. Mengembalikan otoritas pendidikan secara penuh kepada negara jauh lebih penting dan strategis dari pada bereksprimen memberikan pasar pendidikan kepada pihak asing dan swasta dengan harapan yang belum pasti berupa peningkatan mutu pendidikan. Bukankah mencegah mudarat jauh lebih penting dari pada mengambil maslahat yang kadarnya tidak seberat mudarat yang akan ditimbulkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar