Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Rabu, 29 Agustus 2007

Kang Jalal tentang Sepak Terjang HMI: Terlalu Larut ke Politik



HARI ini, Senin 5 Februari 2007, salah satu organisasi terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), genap berusia 60 tahun. Sebuah kurun waktu yang cukup lama dan banyak mewarnai hitam putih perjalanan sejarah bangsa ini. Betulkah begitu? Secara gamblang, anggota kehormatan Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi (organisasi para ilmuwan dengan indeks prestasi sangat tinggi di Amerika Serikat, red) Prof Dr Jalaluddin Rakhmat MSc, menuturkannya kepada Fajar.
“Kita harus mengapresiasi HMI. Lembaga ini sudah melahirkan cukup banyak pemimpin bangsa. Bahkan di seluruh lembaga-lembaga politik ada alumni HMI. Termasuk di level pengambil kebijakan, mulai dari menteri hingga lurah. Lihat grafis Mantan Ketua Umum PB HMI di Pentas Politik.

Ditemui di sela-sela Diskusi Nasional Mubalig/ Mubaligat bertajuk Menata Masyarakat Indonesia ke Depan, di Hotel Singgasana, Makassar, Sabtu 3 Februari lalu, Kang Jalal, demikian dia akrab disapa, mengakui bahwa dari segi pencetak kader pemimpin bangsa, HMI tergolong cukup berhasil. Saat ini, kata dia, cukup banyak kader HMI yang menduduki jabatan penting. “Dari sisi ini, mereka (kader HMI, red) boleh bertepuk dada,” katanya.

Masalahnya, dia melanjutkan, mendiang Nurcholish Madjid yang juga mantan ketua HMI pernah mengingatkan alias menyindir bahwa sesungguhnya tidak sedikit orang-orang HMI yang ketika berebut ‘kue’ kekuasaan sampai ‘kehilangan’ unsur ‘I’-nya alias Islamnya. Suatu hal yang bagi Kang Jalal, patut menjadi bahan renungan mendasar bagi segenap jajaran HMI dan kader-kadernya.

“Saya sendiri melihat bahwa dalam berebut kekuasaan, tidak ada bedanya antara kader HMI dengan kelompok lainnya,” ujar alumnus S2 Iowa State University bidang Psikologi dan Komunikasi ini.

Dikatakan, dalam perebutan kekuasaan di pentas politik, kader-kader HMI jarang memperhatikan nilai-nilai Islam. Suatu realitas yang mengindikasikan bahwa HMI sebenarnya kehilangan kader terbaiknya.

“Politicking di HMI sudah sangat dominan. Bila perlu memfitnah lawan atau bahkan menjatuhkan pesaing walau itu sesama anggota HMI. Ini menunjukkan, lembaga tersebut seakan-akan menjadi geladi resik anggota HMI. Latihan untuk menjadi pemimpin bangsa ini,” sorotnya.

Salah satu persoalan yang melemahkan HMI adalah afiliasi dengan tokoh-tokoh alumninya yang sudah bertarung di arena politik tertentu. Kang Jalal mencontohkan, KAHMI (Korps Alumni HMI) dan HMI, seperti alumni ITB dan mahasiswa ITB.

“Mereka seperti bapak asuh dan anak asuh. Di kalangan bapak asuh banyak aliran yang bermacam-macam, dan untuk menjadi bapak asuh, terjadi persaingan yang luar biasa,” katanya.

Kondisi inilah yang membawa pengaruh terhadap anggota HMI dan menjadi salah satu penyebab berubahnya arah HMI. “Dalam bayangan saya, HMI akan melahirkan kader-kader ilmuwan Islam. Tapi sekarang, tidak. Mereka justru membuat kader-kader politisi Islam. Itu ditunjukkan dari ketergantungan dan hubungan intim dengan politisi-politisi senior,” katanya.

Sebaiknya, Kang Jalal menawarkan solusi, kaderisasi di tubuh HMI diubah dengan memasukkan lebih banyak ruh keagamaan. Selain itu, perlu adanya rekonstruksi kembali nilai-nilai dasar Islam. Termasuk pluralisme, harus menjadi ideologi HMI. Begitu pula dengan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan lembaga-lembaga riset.

Masalahnya, keluh Kang Jalal, sekarang yang lebih menonjol justru kelihaian kader-kader HMI dalam bermain politik. Ironisnya, kata dia, hal itu malah kurang bermanfaat bagi perkembangan bangsa ini.

“Menurut saya, lebih bagus bila HMI menjadi unggul dari kelompok lainnya di bidang lembaga riset. Dengan jalan ini, saya yakin akan dapat mengembalikan pamor Islam,” tandasnya.

Kembangkan Visi Kebangsaan

Lantas, apa tanggapan kalangan HMI atas kritikan keras Kang Jalal itu? Ketua Pengurus Besar (PB) HMI, Fajar R Zulkarnaen dengan lantang berdalih jika banyaknya kader HMI yang melabuhkan diri ke arena politik semata-mata sebagai bentuk komitmen kekaderan dalam rangka mengembangkan visi kebangsaan. Di samping, membentuk wawasan kelembagaan yang lebih inklusif.

Jika kelak banyak anggota HMI yang memilih terjun ke partai politik (parpol), kata Fajar Zulkarnaen kepada Fajar, Minggu, 4 Februari petang, itu bukan persoalan etis atau tidak secara institusional maupun konstitusional. Terkecuali, katanya, jika mereka sudah menjadi alumni dan bukan lagi menjadi pengurus atau anggota HMI.

Tentang parpol yang banyak merekrut kader-kader HMI, Fajar Zulkarnaen yang terpilih sebagai ketua PB HMI pada Kongres ke-25 di Makassar akhir Februari 2006 lalu, berkilah bahwa itu sebagai konsekuensi dinamisasi politik di tanah air saat ini.

“Kalau ada anggota HMI yang berparpol, itu karena mereka merasa terakomodasi hak politiknya di sana. Ada pergesekan dengan dinamika kebangsaan yang harus diresponi, kader yang memiliki responsibilitas kekaderan. Dan itu tidak salah,” ujarnya.

Sekadar diketahui, tegas Fajar Zulkarnaen, ranah politik praktis sama sekali bukan orientasi HMI. Politik, kata dia, tidak lebih dari alat. Karena itu, HMI senantiasa menyesuaikan diri secara proporsional dalam bersentuhan dengan wilayah politik kekuasaan.

“HMI hanya berupaya untuk mewujudkan insan akademis yang mampu mencipta dan mengabdi. Itulah kontribusi ideal yang harus dilakukan kader untuk bangsa ini,” tandas Fajar Zulkarnaen. (die-p16)

Tidak ada komentar:

AddThis Feed Button