Google News

Tempointeraktif

Eramuslim

Rabu, 29 Agustus 2007

Meretas Jalan Panjang Rekonsiliasi HMI

Oleh :hminews

Awalnya Lafran pane salah satu pengagas berdirinya HMI, tidak membayangkan bahwa HMI akan berkembang seperti sekarang ini, Lafran hanya berpikir bagaimana mahasiswa islam yang ada di Yogyakarta bisa bersatu dalam satu wadah organisasi islam, mengingat mahasiswa islam ketika itu tidak memiliki organisasi padahal jumlah mereka mayoritas. Tepatnya hari Rabu Pon, tanggal 14 Robiul Awal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 pukul 16.00 WIB. Bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII)), Lafran Pane sebagai penggagas pertama HMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur an yang diasuh oleh Prof. Huasein Yahya untuk mendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak dihadapan kelas yang dihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan prakata sbb :“Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mhasiswa Islam, karena seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap…”. Pemberitaan mengenai pembentukan HMI hanya dimuat oleh satu koran lokal Harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 28 Februari 1947 memuat sebuah berita demikian; “Baru-baru ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota-anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia yang beragama Islam. Perhimpunan akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia.Sekretariat : Asrama Mahasiswa, Setyodinigratan 5 Yogyakarta.Hanya ini pemberitaan yang kita dapati dari pers, sehubungan dengan berdirinya HMI”. Fase Kesejarahan HMI Sejarah dan dinamika perjalanan HMI tersebut tentunya sangat berkaitan erat dengan dinamika republik tempat HMI berakar dan berpijak. Dengan demikian pasang surut perubahan sosial yang mewarnai sejarah republik juga mempengaruhi perkembangan HMI itu sendiri. Sebagai akibatnya kemampuan HMI untuk membaca sejarah pada masa lalu, sekarang, dan akan datang akan bermanfaat bagi HMI dalam menentukan kedudukan dan perannya pada masa-masa mendatang, tidak dapat dipungkiri kemajuan HMI adalah kemajuan umat islam. Perubahan sosial politik bangsa indonesia akan sangat berpengaruh terhadap HMI. Hingga sampai saat ini HMI masih eksis disetiap kampus diseluruh Indonesia sebagai ‘pabrik’ penghasil pemikir, politisi dan intelektual islam. Pada perkembangannya HMI terbagi beberapa fase yang pertama, fase mempertahankan kemerdekaan yaitu medio tahun 1945-1960, setiap pemuda ketika itu wajib membela negara dan siap untuk berkorban demi negara, perjuangan pada masa itu dikenal dengan perjuangan revolusi fisik, HMI terlibat dalam perundingan Linggar jati (1947) yang menghasilkan pembagian wilayah Indonesia. Dari hasil perundingan itu Indonesia dirugikan karena wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera, Bali dan Madura selebihnya milik Belanda, demontrasipun dilakukan oleh HMI menentang keputusan itu. Yang Kedua, Fase pengorganisasian antara 1950 –1970, pada tahun –tahun ini disebut sebagai masa emas intelektualitas dan kemenangan gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim orde lama, HMI harus membenahi strukutr organsasi karena di beberapa cabang ketika itu HMI dilarang didirikan. Dengan alasan HMI antek nasakom yang dipelopori oleh Soekarno. Kepemimpinan Pengurus Besar masa itu dipimpin oleh Nurcholis Madjid yang menjadi ketua selama dua periode kepengurusan, wacana intelektual begitu hangat sehingga banyak tokoh HMI era 70-an menjadi intelektual muslim dikampus maupun di ormas islam. Yang Ketiga, Fase pergolakan antara 1970-1980, HMI pada fase ini bergadapand engan rezim orde baru yang menerapkan sistem refresif-koersif terhadap seluruh oposan gerakan mahasiwa maupun gerakan masyarakat, di tingkatan mahasiswa pemerintah menerapkan kebijakan sepihak dengan menrapkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) dan dibentuklah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), pada buruh dibentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), pada petani dibentuk Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), pada guru dibentuk Persatuan Guru Indonesia (PGRI), pada pegawai negeri dibentuk Korps Pegawai Negeri (Korpri) dan sebagai kendaraan politik dibentuk Golongan Karya (Golkar). Sebagai landasan idiil negara maka pemerintah menerapkan kebijakan penerapan asaz tunggal pancasila bagi seluruh ormas, orsospol, dan seluruh organsiasi massa lainnya. Kebijkan ini beriakibat fatal bagi HMI, dari semula HMI menolak dengan kebijakan pemerintah ini namun desakan pemerintah yang begitu kuat, banyak dari aktivis mahasiswa berkompromi dengan pemerintah. HMI akhirnya terpecah menjadi dua kubu yang menerima asaz tunggal HMI DIPO dan HMI yang menolak asaz tunggal yang dikenal dengan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO). Maka fase selanjutnya HMI berjalan dalam dua struktur kepengurusan yang berbeda dengan garis perjuangan yang berbeda pula. HMI DIPO memilih untuk tetap berkiprah dijalur politik praktis dengan memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat negara, sedangkan HMI MPO memilih jalan underground kembali ke kampus dan masjid –masjid disekitar kampus, karena tindakan aparat ketika itu begitu keras terhadap organisasi yang dianggap sempalan ini. Jalan Menuju Rekonsiliasi Pihak yang antusias mendukung terjadinya rekonsiliasi selama ini di motori oleh para alumni, sebut saja misalnya dari HMI MPO Eggi Sudjana, dari HMI Dipo Akbar Tandjung, mereka mempunyai kepentingan yaitu dengan kembalinya HMI maka HMI bisa dijadikan kendaraan politik kembali seperti terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Basis HMI yang tersebar diseluruh Nusantara menjadi kekuatan mahasiswa untuk melakukan suatu perubahan di Indonesia dari fenomena ini para alumni merasa beratnggung jawab akan persatuan HMI. Pada dasarnya pengurus HMI sekarang ini tidak mempunyai hubungan secara struktural dengan para alumni, kalaupun ada hanya sebatas hubungan emosional karena dulu alumni tersebut pernah merasakan susahnya menjadi pengurus di HMI, korban harta dan mental yang begitu besar, sehingga alumni tidak bisa mengintervensi tentang masalah struktural ini. Persoalan rekonsiliasi memang pelik, disatu sisi ada sikap arogansi dari kedua belah pihak disatu sisi juga ada kepentingan politik kalangan tertentu yang ingin memanfaatkan momentum ini. Namun perlu dicermati bersama bahwa jalan menuju rekonsiliasi tidak semudah seperti dibayangkan para alumni, rekonsiliasi butuh waktu terutama berkaitan dengan ide dasar yang melatarbekangi kebutuhan akan rekonsiliasi ini. Ide dasar ini adalah apakah kebutuhan ini memang untuk mempercepat kebangkitan islam di Indonesia atau berdasarkan pada kebutuhan persatuan gerakan saja. Karena kedua HMI mempunyai tujuan yang berbeda namun esensinya sama, oleh karena itu selama visi perubahan itu untuk memperbaiki kondisi ummat, maka wacana rekonsiliasi perlu dijadikan bahan renungan dan refleksi setiap kader HMI. Selain itu banyak perbedaan yang selama ini terjadi di HMI DIPO dan HMI MPO, seperti masalah perkaderan dan struktural, dalam perkaderan oreintasi keislaman harus benar-benar dijadikan prioritas, Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderan HMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitik beratkan pada wacana islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal) sedangkan Khittah Perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai padangan hidup world of view yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden). Untuk masalah perkaderan ini maka jalan keluarnya harus ada yang berani mengambil sikap bijak bahwa selama ini output dari NDP dan Khittah perjuangan apakah banyak yang berhasil atau malah sebaliknya sehingga yang pasti perlu ada satu landasan perkaderan bagi HMI. Masalah struktural yang yang menjadi kendala yang cukup besar bagi terciptanya rekonsiliasi HMI adalah suatu realitas yang harus disikapi secara alami. Masalah ini sangat sensitif bagi kedua belah pihak dan tidak bisa kemudian struktur HMI dipaksakan untuk satu secara instant. Hendaknya dalam proses rekonsiliasi ada beberapa yang perlu dijadikan kesepakatan bersama yaitu pernyatuan visi perkaderan, penyamaan plattform keislaman dan selanjutnya pengintegrasian struktur HMI diseluruh Indonesia menjadi satu. Dari ketiga fase itu penulis berharap rekonsialisi HMI berjalan secara alamiah dan tidak ada kepentingan yang lain selain karena ukhuwah islamiyah dan demi terciptanya masyarakat Indonesia yang diridhoi Allah SWT, mudah-mudahan niat tulus ini menjadi catatan amal sholeh bagi setiap kader HMI selamat Milad HMI yang ke –57.

(Ilham Munajat Wijaya, Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) Cabang Bogor Periode 2002-2003. Saat ini beralamat : Jl. Sawo No 6 Bantar kemang Bogor Timur 16142 Tlp. 0251 330020 fax 0251-352887, hp 0815-611-1203, Email: btrkemang6@yahoo.com)

1 komentar:

AnangE.Wicaksono mengatakan...

Rekonsiliasi: islah atau rujuk?

Perjalanan waktu telah membawa HMI baik MPO maupun Dipo pada faktanya tumbuh dan berkembang menjadi sebuah entitas dengan eksistensinya masing-masing. Saya secara pribadi melihat bahwa ini adalah dua organisasi yang berbeda tetapi memiliki akar kesejarahan yang sama. Wacana rekonsiliasi yg telah beredar sejak lama tak kunjung berbuah cerita akhir.
saya sendiri adalah mantan penggiat MPO di waktu yg lalu. Ada sebuah kejadian dimana saya cukup intens berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan saudara-saudara saya yang notabene adalah HMI Dipo, terutama menjelang dan paska 1998.
saya melihat pemikiran yg relatif sama pada masing2 pribadi disana. Saya masih ingat pada saat acara Kongres Mahasiswa se Indonesia di Tri Sakti saudara saya Agus (malang) yang notabene Dipo tiba-tiba menangis ngguguk ketika melihat teman-temannya waktu itu berjoget di aula pada saat acara istirahat. Akhirnya saya dan rully (jaya baya) sepakat untuk memangil SC yg waktu itu juga HMI Dipo untuk mengklarifikasi masalah ini. Dan akhirnya kita berkumpul berembug para semua ketua senat yg rata-rata adalah HMI Dipo membicarakan masalah ini.., akhirnya saya sarankan untuk masing-masing kawan mengumpulkan kembali teman2 untuk melanjutkan pembahasan.
Sepenggal kisah diatas menyiratkan bahwa dikalangan HMI Dipo pun masih banyak kader-kader yg cukup ortodoks memegang perilaku keislamannya.(agak sedikit berbeda dengan apa yg saya dengar dr cerita kawan-kawan MPO saya).
Saya akhirnya berfikir mungkin naif, bahwa sebenarnya MPO-Dipo secara kelembagaan tidak secara substansi merepresentasikan perilaku kadernya.
Artinya bahwa MPO-Dipo adalah sebuah lembaga saja (mungkin lebih bersifat politis) yg masing-masing tentu ingin mempertahankan eksistensinya.
So wacana rekonsilasi pada akhirnya tidak begitu penting menurut saya. Karena saya khawatir pada akhirnya sarat dengan muatan politis semata.
Saya berfikir Islah menjadi lebih tepat, dimana sebagai kekuatan gerakan islam dengan eksistensinya masing-masing bisa lebih menguatkan perjuangan yg dilakukan atas nama islam.
Jangan sampai hanya karena terlalu bersemangat untuk rekonsiliasi, pada akhirnya malah muncul organisasi ketiga yg entah apa namanya.

Anang E. Wicaksono
mantan anggota HMI Korkom UII Yogya

AddThis Feed Button